Ilmu yang secara berangsur-angsur diturunkan ke bumi oleh Allah SWT agar semua yang menerimanya mau berfikir dan memahami secara berlahan-lahan
Ilmu yang secara berangsur-angsur diturunkan ke bumi oleh Allah SWT agar semua yang menerimanya mau berfikir dan memahami secara berlahan-lahan, sebagai mana firman Allah SWT:
Jelas sekali bahwa ilmu yang diturunkan oleh Allah SWT tidak langsung serta merta turun melainkan secara bertahap agar dapat dipahami bagian perbagian dengan tingkatan yang berbeda.
Abad ini sering sekali tedengar bahwa adanya pembagian ilmu umum dan ilmu agama. Adanya dikotomi ilmu ini menjadikan budaya yang berlatar belakang islam "terkadang" menjaga jarak terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat bermunculan di barat. Dari berbagai kemajuan teknologi yang ada, sering sekali terlihat kaum santri yang terlalu serius mendalami kitab kuning hingga menyampingkan ilmu-ilmu pengetahuan yang lebih cenderung terkesan keduniawian, celakanya hal ini mengakibatkan pola pikir para santri yang cenderung kolot dan terlalu taklid adanya.
Namun jika ditelaah lebih dalam lagi sebenarnya tidak ada pembagian ilmu umum dan ilmu agama yang mana ilmu umum yang dikategorikan dalam ilmu fisika, matematika, biologi dan sederet ilmu-ilmu logika yang diajarkan di sekolah-sekolah formal, lha sedangkan ilmu hadist, tafsir, tasawuf, tauhid, nahwu shorof di kategorikan sebagai ilmu agama, lalu apakah semua ilmu-ilmu tadi tidak berasal dari Allah SWT (ilmu agama) sehingga adanya dikotomi ilmu dengan cabang-cabangnya?
Kalau kita mau menilik kebelakang tentang kemajuan peradaban islam masa silam, sangat jelas sekali Islam memiliki banyak sekali ilmuwan diberbagai bidang, diantaranya Ibn Sina yang terkenal dengan ilmu filsafat dan kedokterannya hingga menulis kitab Qonun fi at-thib dimana kitab tersebut telah menduduki tempat terhormat dikalangan dokter di dunia, karena selain diandalkan didunia Islam sendiri saat itu, juga menjadi rujukan utama para mahasiswa kedokteran diberbagai universitas kedokteran Eropa.
Lalu yang menjadi pertanyaan, bukankan peradaban Islam itu sendiri sudah memiliki dasar-dasar yang kuat (tradisi filsafat dan ilmu pengetahuan)? Dapat ditarik benang merah, ternyata yang menjadi sekat dan kemunduran perdaban Islam menurut beberapa pemikir adalah dikarena sains dan filsafat berada dalam kelompok pengetahuan yang sama, yakni pengetahuan duniawi. Pemisahan ini pada akhirnya membatasi filsafat dan sains dalam mempertanyakan hal-hal di luar otoritasnya. Adanya keterbatasan ini berimplikasi pada berhentinya tradisi ilmiah di peradaban Islam sampai akhirnya semua tradisi ilmiah tersebut diimpor oleh bangsa Eropa beberapa abad kemudian.
Sangat jelas sekali adanya dikotomi ilmu mengakibatkan dampak yang cukup menghawatirkan mengingat adanya pembatasan wilayah-wilayah keilmuan. Jikalau saja khususnya pesantren-pesantren salaf yang banyak di Indonesia mau mendalami ilmu pengetahuan dan mengambil referensi kitab-kitab zaman dahulu dan tidak melulu mendalami ilmu keukhrawian tentunya peradaban Islam dapat bangkit kembali setelah tidur panjangnya, sehingga kaum pesantren yang tenar dengan sebutan kaum santri dapat mengikuti arus zaman modern dengan bekal keilmuan yang makin lengkap. Kemudian tidak menutup kemungkinan pendidikan yang dikenal dengan keformalannya yakni lembaga sekolah dapat mengadobsi pembelajaran kitab-kitab klasik khas pesantren yang mengedepankan keukhrawian sehingga output yang dihasilkan nantinya juga memiliki dasar pijakan moralitas dan keagamaan yang kuat.
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
"Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian". (Al israa’: 106)Jelas sekali bahwa ilmu yang diturunkan oleh Allah SWT tidak langsung serta merta turun melainkan secara bertahap agar dapat dipahami bagian perbagian dengan tingkatan yang berbeda.
Abad ini sering sekali tedengar bahwa adanya pembagian ilmu umum dan ilmu agama. Adanya dikotomi ilmu ini menjadikan budaya yang berlatar belakang islam "terkadang" menjaga jarak terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat bermunculan di barat. Dari berbagai kemajuan teknologi yang ada, sering sekali terlihat kaum santri yang terlalu serius mendalami kitab kuning hingga menyampingkan ilmu-ilmu pengetahuan yang lebih cenderung terkesan keduniawian, celakanya hal ini mengakibatkan pola pikir para santri yang cenderung kolot dan terlalu taklid adanya.
Namun jika ditelaah lebih dalam lagi sebenarnya tidak ada pembagian ilmu umum dan ilmu agama yang mana ilmu umum yang dikategorikan dalam ilmu fisika, matematika, biologi dan sederet ilmu-ilmu logika yang diajarkan di sekolah-sekolah formal, lha sedangkan ilmu hadist, tafsir, tasawuf, tauhid, nahwu shorof di kategorikan sebagai ilmu agama, lalu apakah semua ilmu-ilmu tadi tidak berasal dari Allah SWT (ilmu agama) sehingga adanya dikotomi ilmu dengan cabang-cabangnya?
Kalau kita mau menilik kebelakang tentang kemajuan peradaban islam masa silam, sangat jelas sekali Islam memiliki banyak sekali ilmuwan diberbagai bidang, diantaranya Ibn Sina yang terkenal dengan ilmu filsafat dan kedokterannya hingga menulis kitab Qonun fi at-thib dimana kitab tersebut telah menduduki tempat terhormat dikalangan dokter di dunia, karena selain diandalkan didunia Islam sendiri saat itu, juga menjadi rujukan utama para mahasiswa kedokteran diberbagai universitas kedokteran Eropa.
Lalu yang menjadi pertanyaan, bukankan peradaban Islam itu sendiri sudah memiliki dasar-dasar yang kuat (tradisi filsafat dan ilmu pengetahuan)? Dapat ditarik benang merah, ternyata yang menjadi sekat dan kemunduran perdaban Islam menurut beberapa pemikir adalah dikarena sains dan filsafat berada dalam kelompok pengetahuan yang sama, yakni pengetahuan duniawi. Pemisahan ini pada akhirnya membatasi filsafat dan sains dalam mempertanyakan hal-hal di luar otoritasnya. Adanya keterbatasan ini berimplikasi pada berhentinya tradisi ilmiah di peradaban Islam sampai akhirnya semua tradisi ilmiah tersebut diimpor oleh bangsa Eropa beberapa abad kemudian.
Sangat jelas sekali adanya dikotomi ilmu mengakibatkan dampak yang cukup menghawatirkan mengingat adanya pembatasan wilayah-wilayah keilmuan. Jikalau saja khususnya pesantren-pesantren salaf yang banyak di Indonesia mau mendalami ilmu pengetahuan dan mengambil referensi kitab-kitab zaman dahulu dan tidak melulu mendalami ilmu keukhrawian tentunya peradaban Islam dapat bangkit kembali setelah tidur panjangnya, sehingga kaum pesantren yang tenar dengan sebutan kaum santri dapat mengikuti arus zaman modern dengan bekal keilmuan yang makin lengkap. Kemudian tidak menutup kemungkinan pendidikan yang dikenal dengan keformalannya yakni lembaga sekolah dapat mengadobsi pembelajaran kitab-kitab klasik khas pesantren yang mengedepankan keukhrawian sehingga output yang dihasilkan nantinya juga memiliki dasar pijakan moralitas dan keagamaan yang kuat.
KOMENTAR